Media Cetak di Akhir Hayat -Refleksi Komunikatif

Nasib media cetak dalam ancaman. Para pakar memperkirakan masa depan surat kabar, majalah, dan tabloid suram. Pembaca media cetak pelan tapi pasti mulai beralih ke media elektronik, khususnya TV dan internet.

Philip Meyer, penulis buku The Vanishing Newspaper meramalkan koran terakhir terbit pada April 2040. Dalam sebuah seminar SPS (serikat penerbit suratkabar), Asto Subroto, pengelola lembaga Survey Mars mengemukakan, koran sebagai produk akan berakhir dalam 25 tahun ke depan.

Apakah ramalan para ahli ini terbukti atau tidak, tentu waktu yang akan menjawab. Namun, kalau melihat gejala-gejala yang ada, prediksi tentang nasib media cetak memang perlu mendapatkan catatan khusus. Di Amerika, satu persatu media cetak mulai gulung tikar. Harian Kompas (19/3) memberitakan hari Selasa (17/3) menjadi hari terakhir bagi surat kabar Seattle Post-Intelligencer (Seattle P-I). Setelah terbit selama 146 tahun, Seattle P-I menerbitkan edisi terakhir pada hari itu sebelum berganti menjadi edisi online.
Seattle P-I memilih beralih ke media online karena pendapatan terus turun akibat oplah dan pendapatan iklan terus anjlok. Para pembaca dan pengiklan lebih memilih media internet ketimbang media cetak. Masih menurut Kompas, menyusul Seattle P-I adalah San Fransisco Chronicle yang mengalami kerugian hingga 50 juta dollar AS pada tahun lalu. Pemiliknya, Hearst Corp, segera menutup atau menjualnya ke pihak lain.

Di dalam negeri, oplah koran terus merosot. Sebuah sumber menyebutkan pada periode April 2006-April 2007 oplah koran turun sekitar 4%, majalah (24%), dan tabloid (12%). Sebaliknya penonton televisi naik sekitar 2% dan pengakses internet naik 17%.
Faktor kecepatan , efisien, dan praktis menjadi keunggulan media elektronik.

Media elektronik, khususnya TV, sangat cepat dalam menyampaikan berita. Dalam hitungan detik pun sebuah kejadian sudah bisa sampai ke audiens. Tidak seperti media harian yang baru bisa memberitakan kejadian hari ini pada edisi besok. Sebagai media pandang-dengar, TV lebih atraktif. Kamera TV bisa memotret realitas mendekati obyek aslinya. Wajar jika audiens lebih senang mengikuti berita di TV daripada media cetak. Di sisi lain, media elektronik jauh lebih murah. Taruhlah harga sebuah TV Rp 1 juta yang bisa dipakai selama bertahun-tahun. Bandingkan dengan harga langganan satu koran antara Rp 60.000-Rp 100.000/bulan.  Faktor makin murah dan mudahnya mengakses internet makin mendorong publik meninggalkan media cetak.

Isu penyelamatan lingkungan menjadi faktor lain yang tidak menguntungkan media cetak. Kertas yang dipakai media cetak berbahan dari kayu. Semakin besar penggunaan kertas, semakin banyak kayu-kayu hutan yang harus dibabat. Dalam jangka panjang jelas tidak menguntungkan. Naiknya harga kertas mendorong kalangan pengelola media cetak menaikkan harga jual. Di tengah krisis dunia yang belum berakhir ditambah makin rendahnya tingkat daya beli masyarakat, semakin mendorong orang meninggalkan media jenis ini.

Kondisi  ini menjadi tantangan serius bagi media cetak. Untuk bisa terus eksis, para pengelola perlu berpikir keras, terus berkreasi agar media ini tetap punya nilai lebih ketimbang media elektronik.  Tanpa ada kreativitas, bisa jadi ramalan para ahli bakal menjadi kenyataan....

Judul asli essai : Lampu Kuning Media Cetak...
Sumber: _http://sholahuddinmz.multiply.com/

0 komen dongg !! yah yah yah... pliss komen dong. :D:

Post a Comment